Betulkan Regenerasi di Dunia Sastra Gagal, Bagaimana dengan Sastra Digital

Sastrawan Saut Poltak Tambunan (kiri) dan Cecep Burdansyah (kanan)

Betulkan Regenerasi di dunia sastra gagal, bagaimana dengan sastra digital, apakah mereka tidak layak disebut sastra juga, kendalanya ada dimana?

Bandung, tandabaca.id
Hadiah Sastra Rancage yang dibesut Ajip Rosidi dengan harapan, keberadaan bisa kekal, tak lapuk oleh zaman, agar bisa memperkaya khasanah bangsa, memang terus bergulir.

Tigapuluh Tujuh Tahun berlalu, dalam hal peserta, gelaran ini ternyata stagnan, pesertanya yang itu-itu juga, atau generasi tua.

Dengan kata lain, sastra nasional adalah buku tua, berdebu yang tercecer di sudut ruangan, keberadaannya tidak lagi diminati generasi muda.

Sastrawan ternama Saut Poltak Tambunan, mengakui telah gagal mencetak generasi-generasi baru yang meminati dunia sastra, penjaga khasanah budaya bangsa.

Saut adalah sastrawan era 70-an yang telah menerbitkan banyak karya sastra baik itu puisi, cerita pendek, novel, skenario, dan esai sastra yang dimuat di berbagai media massa.

Beberapa novelnya, bahkan telah diangkat ke layar lebar antara lain Jalur Bali, Harga Diri, Yang Perkasa, Dia Ingin Anaknya Mati, dan Hatiku Bukan Pualam.

Judul terakhir, selain pernah diangkat ke layar lebar yang dibintangi oleh Yenny Rachman, Roy Marten, dan Deddy Mizwar, juga diangkat ke layar kaca (sinetron), dibintangi oleh Inneke Koesherawati, Rico Tampatty. Terakhir diangkat ke film televisi (FTV), dibintangi oleh Marshanda, (2014).

Total karya sastra yang sudah dibukukannya 60, mulai berkarya tahun 1975 baru 2012 menggeluti sastra daerah. Sastra daerah yang sudah ditulis 30.

“Saya salut dengan rancage yang dibuat Ajip Rosidi ini, contohnya begini, kertika peresmian gendung ini 2015 –saya pertama kali dapat Rancage. Saya diminta sambutan mewakili para penerima rancage,” katanya.

Orang Gila Dalam Tanda Petik

“Di situ saya bilang, dalam tanda petik Kang Ajip ini orang gila. Tetapi kita butuh lebih banyak lagi orang gila dan saya kepingin bercita-cita jadi orang gila, kayak kanga Ajip, karena kita kekurangan orang gila seperti itu,” bebernya.

Namun, Saut mengaku, kurang gila, karena gagal menetaskan generasi-generasi baru penggila sastra Indonesia.

“Saya rasnya kurang gila, karena saya merasa gagal. Ini, bagaimana generasi muda ke mana. Ini yang ikut Rancage kok umurnya udah pada tua. Di sastra batak peserta tahun hadiah sastra rancage umurnya 73, 76 dan 83,” ungkapnya.

“Berarti saya berpikir berbanding lurus, pembaca karya sastra umurnya juga segitu (73, 76 dan 83),” bebernya ungkapnya kembali.

Saut menjelaskan covid-19 yang melanda Indonesia di tahun 2020 dan 2021 menghantam banyak hal, tidak terkecuali minat baca.

“Kompetitor sastrawan saat ini, bukan sastrawan lain, tetapi kebutuhan hidup.

“Mereka bilang, untuk apa beli buku. Lebih baik untuk kebutuhan hidup, dan mereka pun baru mau membaca saat kita kasih gratis,” urainya.

Saut sendiri tidak ambil pusing hal itu, dia seolah tidak kenal lelah untuk terus menerbitkan buku.

“Saya pribadi tidak pernah rugi menerbitkan buku- Karena orang tahu perjuangan saya. Dan saya sering menyumbangkan buku saya untuk mereka baca,” katanya.

Segitu Juga Lumayan

Sastrawan Cecep Burdansyah menambahkan sesungguhnya generasi muda peminat sastra masih ada, saat ini sastra-sastra itu banyak terbit di platform-platform digital.

“Namun yang bermain (menuliskan karya-karyanya) di TikTok, Facebook, Instagram belum sistematisasi dengan jelas, baru sporadis aja. Tetapi segitu juga lumayan,” katanya.

Permasalahannya, jelas Cecep Burdansyah, tidak da kurasinya, tidak ada editor, jadi siapapun bisa dengan mudah memposting.

“Soal karya sastra sunda, tanpa melalui editor. Akhirnya kualitas jadi korban,” terangnya.

Jadi terang Cecep Burdansyah, kesadaran untuk menulis atau memposting karya sastra dalam dunia digital ada, yang tidak ada kesadaran untuk meningkatkan kualitasnya saja.

Untuk menyikapi kondisi tersebut, terang Cecep Burdansyah perlu ada workshop, ada diskusi, agar mereka yang memanfaatkan dunia digital, bisa meningkatkan kualitas karyanya.

“Jadi tetap harus ada penyadaran seperti itu,” terangnya.

Soal apakah hal itu memungkinkan, Cecep Burdansyah mengatakan untuk Gen Z kesadaran untuk itu ada.

“Lumayan kalau Gen-Z ini atusiasmenya ada, mereka lebih kooperatif. Tapi untuk yang angkatan tua susah, menganggap dirinya sudah bisa (ego) tetapi ketika dibaca hasil karyanya masih jauh kualitasnya,” ungkapnya.@Ry

BACA INI JUGA
Saut Poltak Tambunan : Abadikan Kearifan Lokal secara Modern dalam Tulisan
Soal Jabar Istimewa, Pasar Caringin Siapkan Inovasi Pengolahan Sampah
Upaya Penanganan Sampah Dilakukan Pasar Caringin Jauh Sebelum Tragedi TPA Sarimukti

Regenerasi di Dunia Sastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *