Khas  

Dengar Nama Si Pitoeng, Belanda Keringet Dingin, Jendela Ditralis dll

Si Pitung! Verdomt Het
AWV (Scout) Hinne, sebelah kanan, bersama istri dan putri tunggalnya. Di film Si Pitoeng, Scout Hinne berambut pirang. Foto: Margreet van Till and David McKay, Banditary in West Java 1869-1942.

Dengar Nama Si Pitoeng Belanda Keringat Dingin, Jendela Ditralis. Malam Tiba, Pergerakan Sedikit Apapun diwaspadai, bahkan sampai ada yang pobia.

Jakarta, tandabaca.id
Cerita ini, bukan berita, terdapat di De Sumatra Post edisi 29 Juli 1901 atau delapan tahun setelah Si Pitoeng tewas dan Schout Adolf V Hinne menerima bintang penghargaan Ordo Singa Belanda, menikmati pujian warga kulit putih Batavia, dan menjadi selebriti.

Penulis memulai dengan mengingat kembali situasi Batavia saat Si Pitoeng berkiprah.

Batavia paruh kedua 1983 pernah dibuat tidak aman oleh perampok terkenal bernama Pitoeng dan rekan-rekannya. Sebagai bukti betapa sulit menangkap Pitoeng, pemerintah kota Batavia menyediakan hadiah 300 gulden kepada siapa pun yang menunjukan persembunyian sang perampok paling beken itu.

Polisi Meester Cornelis beberapa kali terlibat baku tembak dengan komplotan Pitoeng. Tak jarang polisi bersenjata senapan panjang lintang pukang takut jadi korban keganasan pistol sang jagoan.

Maklum, Pitoeng dikenal jago tembak dengan pistol. Polisi pribumi juga sangat percaya rumor Pitoeng sakti; kebal senjata tajam dan peluru, yang membuat mereka memilih lari daripada menghadapinya.

Di masyarakat kulit putih Batavia, menyebut Pitoeng hanya akan membuat bulu kuduk berdiri dan membayangkan sang perampok berada di samping tempat tidurnya seraya memegang pistol di suatu malam.

BACA INI JUGA : Dibanding Mat Item, Kundur Lebih Banyak Membunuh

Pitoeng menciptakan ketakutan permanen sedemikian kuat, yang disimbolkan dengan teralis besi di semua jendela pemukim kulit putih dan ventilasi diperkuat kisi-kisi besi. Suara apa pun di atas rumah pada malam hari hanya akan membuat kulit putih penghuninya berasumsi Pitoeng datang.

“Kini, Pitoeng telah tiada dan kita menghadapi kenyataan lain,” tutur si penulis.

Di kalangan pribumi, Pitoeng tetap hidup. Penduduk asli menarasikan kisahnya dari mulut ke mulut. Para gadis memujinya, meski mereka mungkin tak pernah bertemu dengan sang ‘pahlawan’. Janda-janda Si Pitoeng (1) sangat dihormati, yang membuat iri perempuan lain. Nji Sarinah (2) , salah satu istri Pitoeng, mungkin yang paling dihormati.

Pemukim kulit putih Batavia mengenang Pitoeng dengan menceritakan kembali saat-saat menakutkan selama sang perampok berkiprah. Salah satunya, mungkin yang paling menarik, dialami sebuah keluarga yang bermukim di Gang Chaulan — kini Jl KH Hasyim Asyari.

BACA INI JUGA : Pemimpin Geng Terkenal Mat Item Terbunuh Setelah Pengejaran

Pertengahan 1893 salah satu rumah di Gang Chaulan dihuni sepasang suami-istri dan satu sepupu. Sang sepupu adalah penembak jitu dengan pistol, yang merawat senjatanya seperti merawat ibu tercinta.

Suatu sore, sang sepupu membersihkan pistol dengan minyak, membongkarnya, dan tidak memasangnya lagi seperti semula dengan alasan tertentu.

Malam sekitar pukul 02:00 dini hari, wanita di dalam rumah itu mendengar suara seperti seseorang sedang merangkak di loteng. Ia membangunkan suaminya. Ada pula suara seperti seseorang berupaya membuka kisi-kisi besi ventilasi.

“Si Pitung…..!” ujar perempuan itu dengan suara lirih sambil bergidik. “Apa yang harus kita lakukan?”

Suaminya menjawab; “Tetap diam, turun dari tempat tidur perlahan. Saya akan keluar kamar menemui keponakan saya.”

BACA INI JUGA : Haji Mari, Pemimpin Komunis dari Tegal Alur

Sang suami menemui keponakannya, yang tampak panik dan gagal memasang pistolnya yang tadi sore dibongkar. Muka sang keponakan tampak pucat, ketakutan luar biasa.

Satu-satunya jalan bagi penghuni rumah adalah keluar tanpa bersuara, memanggil penjaga lingkungan di pos, dan mengontak pos polisi terdekat. Sang suami memberanikan diri melakukannya.

Tak lama kemudian, rumah itu terkepung polisi bersenjata lengkap. Perintah agar Pitoeng keluar dari loteng dan menyerah diteriakan berkali-kali. Tidak ada jawaban. Situasi sedemikian tegang.

Empat orang masuk ke dalam rumah dan memasang tangga untuk menjangkau penutup loteng, tapi tidak ada yang berani naik. Akhirnya, salah satu bersedia mengorbankan diri.

BACA INI JUGA : Negara Tjengkareng Dijual

Sang penjaga, dengan pistol di tangan, naik dan masuk lubang loteng rumah dan merayat di kegelapan loteng. Yang lain, juga dengan senjata siap tembak, menunggu di bawah dan di luar. Keberanian setiap orang seakan meningkat ketika penjaga kedua memberanikan diri menaiki tangga dan masuk ke lubang di loteng.

Tak lama kemudian keduanya keluar dari lubang dan menuruni tangga. “Tidak ada apa-apa,” kata salah satu dari mereka. Namun, suara gemerisik keras masih ada.

Jelang pagi semua yang berada di dalam dan luar rumah tertawa bersama, ketika seekor kucing mundul dari celah kecil seraya membawa seekor anaknya. Kucing itu berusaha memindahkan anaknya yang mulai besar ke bawah dan meletakannya di dekat lemari makanan.

Siang hari, tetangga yang mengetahui cerita itu tertawa. Keluarga itu, suami-istri dan satu sepupu, menjadi bahan tertawaan berhari-hari.

———————

(1) Pernyataan penulis Belanda ini, menurut saya, subyektif karena berdasarkan asumsi antropologis bahwa setiap jagoan, tokoh, atau orang terhormat pribumi, beristri lebih dari satu.

(2) Nji dan Sarinah adalah sebutan untuk perempuan pribumi yang dipergundik. Nji atau nyai sebutan untuk wanita pribumi yang dipergunik kulit putih dan Tionghoa. Sarinah sebutan perempuan pribumi yang dipergundikan prajurit KNIL di dalam barak. Penggunaan Nji Sarinah untuk sebutan istri Pitoeng adalah bentuk penghinaan ganda.

Oleh Teguh Setiawan penulis buku toponimi Jakarta Barat dan Jakarta Timur.

BACA INI JUGA
Jawara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *